Langsung ke konten utama

Pasar Baru, Jakarta Pusat Bagian ke-2

Sial! Saat kulihat jam di gawaiku, waktu sudah menunjukan 09.30 WIB. Aku kesiangan. Hari ini aku berencana ke Pasar Baru lagi, karena kemarin belum menemukan apa yang aku cari. Jadinya, aku masih merasa penasaran. Tujuanku mencari toko kamera bekas dan ingin tanya-tanya soal harga secara langsung sebagai patokan seberapa banyak uang yang harus kukumpulkan. Setelah browsing ulang, akhirnya aku tau letak tepatnya di sebelah mana, di Harco Pasar Baru atau Metro Atom namanya.

Transportasi yang kugunakan masih sama seperti yang sebelumnya, yaitu naik commuterline dari Stasiun Kebayoran hingga Stasiun Juanda. Setelah itu kulanjutkan berjalan kaki. Sebelum aku mulai jalan, aku membeli minum dahulu karena sudah merasa haus, juga sebagai persediaan di jalan. Lalu, aku berdiam diri di suatu tempat untuk mengatur gmaps. Aku memasang lokasi tujuan "Anekafoto Metro Atom" dari lokasi asal "Stasiun Juanda" atau bisa juga your location dan memilih mode pejalan kaki. Lokasi yang dipilih harus Harco atau Metro Atom, karena jika memilih lokasi "Pasar Baru" yang ada dibawanya ke gapura yang letaknya lumayan jauh dari toko kamera tersebut.

Aku melihat rute yang diarahkan gmaps, rutenya lebih cepat 2 menit dibanding yang kemarin dan sudah spesifik di tujuan. Jadi, rute ini lebih singkat. Ini rute saat pulang dari Pasar Baru kemarin, aku sudah pernah melewatinya. Rutenya Jalan Ir. H. Juanda 1 - Jalan Pintu Air I - Jalan Pintu Air Raya - Jalan Pasar Baru. Jalan kaki di siang hari rasanya akan membuat gerah, maka dari itu aku sengaja menggunakan pakaian yang nyaman digunakan untuk jalan. Aku menggunakan kaos, jeans, sepatu olahraga, tas selempang kecil, dan rambut yang terkuncir.

Sampai di area Pasar Baru, aku langsung menuju Harco. Puji syukur aku panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena aku akhirnya sampai di tempat yang memang banyak menjual kamera, tidak seperti kemarin. Di Harco aku mengelilingi setiap lantai sampai lantai paling atas. Setiap lantai pasti ada toko kameranya, kecuali lantai 4--lantai teratas. Sesampainya aku di lantai teratas aku bingung, kenapa ini isinya gaun semua ya? Aku keliling sambil melihat-lihat gaun yang digantung maupun di patung, lalu aku melewati seorang petugas toko yang sedang memasang furing di gaun. Setelah mengitari lantai paling atas, aku pun turun karena bukan ini yang aku cari.

Aku turun 1 lantai menuju lantai 3. Aku sempat bingung, "toko mana ya yang akan aku tanyakan?" Sambil bergumam, kakiku melangkah ke toko yang terlihat seperti tempat service kamera. Kebetulan saat itu terlihat agak sepi, hanya ada 1 pelanggan. "Pak, mau tanya-tanya boleh?" aku membuka percakapan dengan basa-basi sekaligus izin juga. "Boleh Mbak," jawab Bapaknya. Bapak itu nampak seperti vokalis Payung Teduh di mataku. Bapak yang menjadi tukang service di toko Oval ini berambut keriting sepunggung atas dengan helaian rambut hitam bercampur putih. Saat itu, masih ada seorang pelanggan yang sudah selesai menservice lensanya yang berjamur. "Duduk Mbak," pelanggan yang akhirnya kupanggil Mas tersebut berdiri dari bangku. "Makasih Mas," aku pun duduk.

"Pak, kalau Canon 1200d harga bekasnya berapa ya?" tanyaku.
"Kenapa nyarinya 1200d, Mbak?" tanya Bapaknya.
"Nggak tau..." jawabku sambil nyengir campur meringis karena aku juga bingung, kalau ditanya alasan, aku sebenernya tidak terlalu mengerti tentang spekulasi kamera--nanya 1200d karena waktu itu sempat nyari kamera baru dan ditawarinya 1200d, beberapa hari yang lalu juga nanya kamera bekas ditawarinya 1200d, "yang bagus biasanya apa, Pak?" lanjutku. Aku bertanya 1200d karena beberapa kali aku disodori 1200d.
"Kalau 1200d cepat rusak, Mbak," jawab Bapaknya.
"Nih Mbak, kalau tanya kamera sama tukang service, sudah sering bongkar kamera," Masnya yang belakangan kukenal berprofesi sebagai fotografer menambahkan.
"Hehehe," aku hanya nyengir-nyengir saja, "lalu tipe apa, Pak, bagusnya?" lanjutku.
"Canon 600d, Mbak, palingan kalau untuk video juga sudah bagus. Kalau mau lebih bagus lagi, Canon 60d, cuma ya gitu..." kalimat Bapaknya menggantung.
"Cuma ya gitu, harganya juga lebih bagus ya, Pak? Hahaha," aku melanjutkan kalimat Bapaknya dan kita bertiga tertawa bersama.
"Saya juga pakai 600d, Mbak, sudah bagus memang videonya, gambarnya juga jernih," Masnya menambahkan. Awalnya aku curiga, jangan-jangan Mas ini penjual di tokonya juga. Ternyata, beliau memang fotografer dari Bekasi, aku ditunjukan video-video hasil kerjanya di youtube-nya. Beliau sudah punya studio sendiri.
"Kekurangannya 600d paling di suaranya saja, Mbak," lanjut Masnya, "kalau ngerekam video suaranya gak terlalu nangkap kalau internal saja, kalau pakai eksternal bagus". "Nih Mbak saya ajarin," lalu menunjukan video youtube-nya. Video tersebut menunjukan seorang anak SMK sedang mewawancarai 3 orang temannya menggunakan microphone eksternal. "Nih, kalau pakai eksternal gini, walaupun ada berisik-berisik di tempat shoot, tidak akan terdengar, Mbak."
Aku mengangguk-angguk, tanda mengerti.
"Kalau beli kamera gini, apa aja yang dicek ya, Pak?" lanjutku.
"Jumlah shoot, gini nih cara ngelihatnya," Bapaknya menyalakan DSLRnya dan menunjukan angka-angka di bagian pojok kanan atas di layar. "Tapi Mbak, ini juga bisa direset pakai software, jadi jalan satu-satunya mengenal penjualnya. Biasanya, kalau yang jual teman kan ketauan jelas pemakaiannya bagaimana," lanjutnya.
Aku mengangguk lagi.
"Kalau 600d harganya sekitar berapa, Pak?" tanyaku, karena tidak sah obrolan panjang ini jika tidak tanya harga.
"Sekitar empat, Mbak. Sebenarnya kalau ada budget-nya mending beli yang 700d sekalian, dia bisa flip layarnya. Rentang harganya juga sekitar empat," jawab Bapaknya.
"Kalau 60d, Pak?"
"Kalau 60d di atas 5, Mbak."
Aku mengangguk lagi, "kalau gitu saya ngumpulin sampe 4 ya, Pak".
"Iya, Mbak."

Lalu aku berganti topik dari Canon.
"Pak, kalau Canon sama Nikon, bagusan mana?" tanyaku.
"Kalau Canon, untuk videonya dia bagus, Mbak. Kalau Nikon untuk fotografinya dia detail, tapi videonya kasar. Kalau Canon fotografinya soft," jawab Bapaknya.
Aku menyimpulkan dalam hati, Canon bagus di video dan Nikon bagus di foto.
"Kalau fotografer handal biasanya pakai Nikon untuk foto. Sama seperti mirrorless Fujifilm sama Sony. Kalau Fuji dia sudah hasil jadi, jadinya tinggal upload saja. Kalau Sony, dia masih bisa diedit-edit sesuai selera," Bapaknya menjelaskan dengan santai.
Setelah ini, Bapaknya kedatangan 2 pelanggan baru. Aku pun berpamitan ke Bapak dan Masnya, tidak lupa mengucapkan terima kasih. Aku juga mengambil kartu nama toko tersebut.

Aku turun ke bawah dan bertanya di salah satu toko di lantai 1, "Mas, di sini jual kamera bekas gak?"
"Di sini baru semua, Mbak, kalau bekas di lantai 3," sambil menunjuk ke atas.
"Oh gitu, makasih ya, Mas," aku tersenyum.

Usai dari Harco, aku penasaran dengan Metro Atom yang ada di seberangnya gedung Harco ini. Aku masuk dan seperti ritual di Harco, aku mengelilingi dan naik ke atas. Namun, eskalator yang menuju lantai paling atas mati, aku jadi malas ke lantai paling atas karena sepertinya juga tidak ada toko kameranya di lantai paling atas. Alhasil aku berkeliling di satu lantai sebelum lantai teratas. Aku akhirnya menyambangi sebuah toko, lupa ejaannya bagaimana, tapi tidak jauh dari kata Harpa. Di toko ini aku langsung tanya harga kamera.
Hasil yang kudapatkan, yaitu:
Canon 650d 4.750.000
Canon 600d 4.000.000
Canon eos 1200 3.500.000

Setelah dari toko Harpa ini, aku pulang dengan membawa jajanan sate kikil dan martabak mini yang baru kumakan setelah aku di rumah karena ini masih Ramadhan. Martabak mininya enak, sate kikilnya tidak enak. Pulangnya, aku tidak melewati Jalan Pintu Air I, tapi lewat Jalan Pintu Air II karena iseng dan sotoy saja. Ternyata, lebih dekat dengan pagar masuk Stasiun Juanda, jadi tidak perlu mutar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wisata Baru Ibukota, Kampung Pelangi

Minggu, 13 Mei 2018 aku bersama adikku, bernama Maya, mengikuti walking tour yang diselenggarakan oleh @jktgoodguides. Rute yang kupilih, yaitu rute Sunter karena aku merasa penasaran saat melihat Ibu Susi Pudjiastuti bermain water sport di perairan Jakarta Utara. Aku berangkat dari rumahku menggunakan commuterline atau biasa disebut dengan KRL. Sebelumnya, aku telah merencanakan untuk berangkat menggunakan Bus Transjakarta atau biasa disebut dengan busway untuk menghemat biaya. Akan tetapi, aku membatalkan rencana tersebut karena aku harus berkumpul di halte busway Danau Agung pukul 15.00 WIB dan sekarang jam di tanganku sudah menunjukan pukul 13.00 WIB. Ditambah jalanan Jakarta seperti jodoh, sulit untuk diprediksi macet atau tidaknya. Aku menaiki KRL dari stasiun Kebayoran dan transit di stasiun Tanah Abang untuk berpindah ke peron 3. Suasana di stasiun Tanah Abang sangat ramai hingga saat aku menaiki kereta menuju stasiun Manggarai aku tidak duduk. Kereta yang bisa kunaiki, ya

Malang, Jawa Timur, Indonesia

Hari ke-1 Selasa, 19 Juni 2018 Pagi ini aku berangkat menuju Malang. Rasanya senang dan tidak sabar, hatiku berdebar-debar dan sesekali aku senyum-senyum sendiri. "Malang.." gumamku pelan, lebih kepada diri sendiri. Sejak semalam aku memikirkan bagaimana caranya ke Stasiun Pasar Senen. Ibuku berkata, "kamu naik transportasi online saja." Tapi, aku merasa enggan naik transportasi online . Aku memang jarang naik transportasi online . Akhirnya, aku dapat wangsit setelah berpikir. Naik commuterline ! Sambil berharap commuterline besok tidak ramai. Commuterline   juga biasa disebut dengan KRL.  Jadilah hari ini aku diantar naik motor menuju Stasiun Kebayoran bersama Mama. Sesampai di Stasiun, alamak, tangganya banyak kali! Aku mengangkat koperku dan menaiki tangga, lalu tap masuk, dan turun dengan lift . Aku mengamati sekitar peron. Ada keluarga dengan 2 orang anak laki-laki. Sang ayah sedang memfoto kedua anaknya di pinggir peron. Bahagia se

Selamat Datang

Halo visitor Yuk Kita Jalan, perkenalkan nama saya Nur Kholifah, biasa dipanggil Nur atau Ifa. Tujuan dari pembuatan blog ini adalah untuk menceritakan dan menguraikan tempat-tempat traveling yang ada di Indonesia, mungkin saya akan mulai dari Jakarta dahulu. Saya akan mulai dari Jakarta karena memang saya berdomisili di sini. Jadi, lebih mudah aksesnya ke berbagai tempat di Jakarta. Lagi pula, saya pernah baca kalimat ini di comment blog orang "kadang tempat-tempat yang dekat dengan kita malah memang sering terlewatkan". Kalimat itu jadi alasan saya untuk mengenal secara mendetail tentang wisata di Jakarta. Setelah Jakarta, sepertinya akan berlanjut ke Depok. Lalu, ke daerah-daerah lain yang semakin jauh. Terima kasih telah mengunjungi blog ini, selamat menikmati dan semoga bermanfaat :) Nur Kholifah